Mengajar dengan Bahagia
Salah satu ruangan di SDN Kananga, Cikeruh, Jatinangor, Sumedang, dipasang plat bertuliskan “ruang guru”. Sepatu-sepatu berserakan di depan pintu. Padahal, lantai tegel itu cukup kotor jika diinjak tanpa alas kaki. Sonder mengetahui alasannya, saya ikut melepas sepatu, lantas memasuki ruang kelas sebagai pengajar Bahasa Inggris kelas lima.
Setidaknya sekitar 20 orang, termasuk saya, tergabung dalam Jatinangor Education Care (JEC), sebuah lembaga independen yang bergerak di bidang pendidikan. JEC hadir untuk memfasilitasi mahasiswa di Jatinangor, sebagai bagian dari masyarakat, untuk dapat berkontribusi nyata bagi pengembangan warga Jatinangor serta Indonesia dalam skala yang lebih luas.
Ruang guru dipakai sementara untuk mengajar karena ruang kelas sedang direnovasi. Tak ayal, ruangan itu tak hanya berisi papan tulis. Mulai dari cobek, karung berisikan bola voli, hingga meja ping pong juga dapat ditemukan di dalamnya. Akan tetapi, anak-anak tampak tak risih dengan keadaan itu.
Di dalam kelas, anak-anak yang duduk lebih sedikit ketimbang mereka yang berlarian, menggambar di papan tulis, dan bermain kelereng. Keadaan itu baru tenang ketika mereka tahu Bu Nina, sang wali kelas, melangkah ke arah kelas.
Selayaknya sekolah dasar, tenang adalah kondisi sementara. Selepas wali kelas pergi, kelas kembali ramai, lirik sana-sini, saling ejek, dan tertawa. Seolah saya diajak kembali ke masa saat kegetiran itu tidak ada.
“perkenalkan nama kakak, Rivanlee”
“ha? Saha, kak?”
saya menuliskan nama di papan tulis.
“oh, Jet Li” saut salah seorang murid
Hari pertama saya mengajak mereka untuk menuliskan harapan-harapan di selembar kertas. Lalu, meminta mereka membacakan harapan tersebut satu per satu di depan kelas seraya mengenali murid.
“nama saya Ridwan. Cita-cita ingin jadi pembalap motor kayak akang-akang di Pangdam”
Pangdam adalah akronim dari Pangkalan Damri. Posisinya persis di depan Universitas Padjajaran. Saat hari terang, fungsinya menjadi tempat bis Damri berlabuh menunggu penumpang. Sedang malam, beralih menjadi parkir motor yang kadang sering digunakan sebagai posisi awal balapan liar.
Singkat cerita, di kelas itu saya tidak sedikit menemukan cita-cita anak-anak yang jarang sekali saya dengar; supir bis, agen travel, juga pemain sepak bola. Pada posisi itu saya menyadari bahwa ada beragam capaian yang berbeda-beda dari tiap kepala murid di luar, dokter, insinyur, pilot, atau tentara. Mereka, terlihat unik, dengan apa yang mereka inginkan. Tapi, itu akan lain ketika saya pakai “kacamata” murid-murid pada umumnya. Cita-cita itu akan terlihat “aneh” karena yang dijawab jauh dari apa yang saya bayangkan.
Ketika saya tanya, beberapa menjawab bahwa ada ketakutan yang hinggap di diri mereka untuk bercita-cita lebih tinggi, juga minimnya informasi tentang macam profesi. “takut gak kesampaian, kak” tungkas salah seorang murid.
***
Berawal dari Kegelisahan
Empat perguruan tinggi, apartemen-apartemen, dan menjamurnya restoran cepat saji menunjukkan pembangunan Jatinangor yang kian padat. Lebih dari itu, Jatinangor memegang slogan sebagai kawasan berpendidikan. Namun, tak banyak warganya yang meneruskan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi. Di Universitas Padjajaran (Unpad), misalnya, penduduk Jatinangor yang berkuliah di Unpad bisa dihitung dengan jari.
JEC merupakan hasil inisiatif dari tiga mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Unpad, yaitu Affabile Rifawan, Perdana Rachmat Multazam, dan Hafidz Syahrial. Berawal dari kegelisahan dan tanggung jawab mahasiswa kepada sekitar, pada 4 April 2011, secara resmi mereka mendirikan JEC.
Mulanya, mereka melakukan penelitian di sekolah-sekolah dasar di Jatinangor untuk menemukan permasalahan yang ada. Mereka menjumpai beberapa sekolah dasar kekurangan tenaga pengajar Bahasa Inggris. Mereka kemudian melakukan pengajaran di sekolah-sekolah tersebut.
Mereka menamai kegiatan pengajaran tersebut Happy Teacher. “Walaupun menutupi kekurangan guru, tapi kami ingin beda dengan guru biasa. Ini terlihat dari nama yang kami usung. Cause happy teacher is always happy,” ungkap Fabil yang kini menjadi dosen Hubungan Internasional FISIP Unpad.
Happy Teacher, jelas Fabil lebih lanjut, menjadi program andalan JEC selain seminar dan bedah buku. Happy Teacher dibagi menjadi tiga kegiatan pengajaran, antara lain, pengajaran Bahasa Inggris, seni, dan Al Quran. Melalui tiga mata pelajaran ini, para pengajar mencoba mengembalikan arti pendidikan kepada khittahnya, yaitu dengan membangun kebebasan berpikir dalam menentukan tujuan murid, tidak mengkotak-kotakkan, tetapi menjadi fasilitator dalam mewujudkan mimpi mereka.
Memupuk Pikiran Murid
Mereka yang menjadi pengajar adalah mahasiswa-mahasiswa di Jatinangor. Perekrutan pengajar dilakukan satu tahun sekali pada masa pengajaran baru. Kegiatan ini juga berfungsi mewadahi pengembangan diri bagi para pengajar, seperti yang diutarakan salah satu pengajar seni, Cindy Mutia, “Saya banyak belajar dari mereka, sehingga setiap pertemuan memberikan kesan dan hal-hal baru yang membuat saya tidak sabar menunggu pertemuan berikutnya”.
Para pengajar dituntut untuk memupuk pikiran murid, bukan menanam pikiran guru. Mereka diwajibkan memiliki pengetahuan luas dan mampu menyambungkan antara penerapan dengan apa yang mereka ajarkan. “Menurut saya, sangat penting bagi seorang guru untuk berwawasan luas karena jika ingin murid yang cerdas dibutuhkan guru yang cerdas pula, yang mengetahui berbagai macam ilmu,” ungkap salah satu pengajar, Laroyba Unsa.

Pengetahuan yang akan diberikan kepada murid dirancang jauh sebelum pengajaran dimulai. "Anak bagai kanvas putih yang akan berwarna dengan pengetahuan yang diterimanya. Segala pengetahuan yang anak peroleh akan membentuk perspektif tentang dunia dan kehidupannya. Bagaimana ia menjalani hidup, bagaimana karakternya terbentuk, merupakan akibat dari pengetahuan yang ia dapatkan. Tanpa pengetahuan, anak tak mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya," tutur Ziaulika Urbakh Zaen selaku koordinator Happy Teacher for Art.
Menjadi pengajar bukanlah menjadi Roro Jonggrang yang mampu membangun seribu candi semalaman. Dampak mengajar tidak bisa dilihat esok hari atau satu tahun setelah mengajar. Confucius, seorang filsuf dari China, mengatakan bahwa manfaat mengajar bukan seperti padi yang dapat dilihat setahun kemudian, juga bukan pohon yang dapat diliat sepuluh tahun ke depan, melainkan seratus ke depan atau dalam jangka waktu lama yang dalam perjalanannya ada hasil dari proses kepengajaran tersebut.
Dari sana, saya menyadari persoalan mengajar bukanlah menjalankan materi ataupun program. Tanpa tedeng aling-aling, mengajar adalah berada setara dengan subjek yang diajar. ia tidak berada di atas. Ia mesti menjadi teman berpikir di taman pikiran anak-anak. Sebab, ibaratkan sebuah taman yang penuh mainan; ayunan, perosotan, jungkat-jungkit, hingga komedi putar, anak-anak akan memilih mainan apapun yang mereka suka. Di kondisi itulah, pengajar masuk saat mereka sedang asik dengan pilihannya. Mengajar dengan bahagia, tanpa tekanan dan tanpa pretensi.
seorang pengajar harus menjadi perpustakaan yang memberikan pilihan buku bacaan yang baik bagi anak-anak. Jika dianalogikan lebih jauh, pengajar bertugas untuk membangun sebuah dapur beserta bumbu dan fasilitas memasak dan membimbing cara memasak, tetapi murid harus memasaknya sendiri. Sebab, sebaik-baiknya pendidikan ialah tidak memaksakan, tetapi memberi bimbingan.
JEC adalah satu dari sekian kelompok mahasiswa yang bergerak di bidang pendidikan. Lebih dari itu, bagi saya, bergabung dengan komunitas sosial adalah bentuk kepedulian. Bergabung dengan komunitas adalah momen berkaca diri, merenung, dan mungkin cara untuk membahagiakan banyak orang.
***
Di akhir materi, saya membuat permainan yang melibatkan seluruh murid. Semacam membuat lakon kecil-kecilan yang memerankan satu profesi. tujuannya, agar mereka mengenalkan pekerjaan-pekerjaan yang belum mereka kenali.
“aku mau jadi dokternya, kak!”
“aku insinyur!”
ruang kelas riuh seketika dengan teriakan-teriakan. satu per satu menawarkan diri menjadi pemain utama. satu per satu murid mulai berani mengucap apa yang mungkin sebelumnya tak sempat terucapkan bahkan terpikirkan oleh mereka.
lantas, kelas kami tutup dengan doa.
Post-scriptum:
Draft tulisan ini lama tersimpan di laptop saya. Sebetulnya diniatkan untuk dikirim ke media. Karena percaya diri yang minim, akhirnya diunggah di blog sendiri. Tulisan ini juga bentuk terima kasih saya kepada teman-teman pengajar maupun nonpengajar yang turut membantu kegiatan-kegiatan JEC selama saya memimpin Jatinangor Education Care.
Tabik!