Bunga dan Air Terjun
Namun, kita perlu akui bahwa kita sering kali memiliki bias. Keinginan untuk memahami, mengetahui, kemudian secara lambat tumbuh menjadi menghakimi.
Saya kembali ke Bandung beberapa waktu lalu. Setiap kali ke Bandung, ada pemandangan yang tidak berubah sejak saya pertama kali ke sana, yakni pedagang bunga di sepanjang Jalan Djuanda. Mendekati Simpang Dago, ibu-ibu atau anak-anak menawarkan bunga kepada tiap kendaraan yang berhenti. Setiap saya melewatinya, saya selalu penasaran dengan momen apa yang ada di sana. Mereka menjual bunga, bunga merah biasanya, dibungkus plastik, dengan tangkai panjang, seperti siap dipersembahkan kepada seseorang. Bahkan ketika hari telah menjadi larut malam, masih saja anak-anak itu mengacungkan bunga ke kaca-kaca jendela, seperti menawarkan untuk mencintai seseorang.
Pemandangan ini, entah kenapa, selalu menggelitik rasa ingin tahu saya. Bukan sekadar tentang jual-beli bunga, tapi tentang cerita di baliknya. Apa yang mendorong mereka berjualan di sana? Momen apa yang dicari para pembeli?

Pada jalan lain, di Jakarta misalnya, saya beberapa kali menemukan penjual air terjun. Jika dimaknai secara literal, menjual air terjun ini seperti surealistis. Saya paham barang yang diperjualbelikan, memiliki pasarnya sendiri. Saya mungkin membayangkan sensasi apa yang ingin dihadirkan dengan membangun air terjun dalam rumah. Barangkali, air terjun yang sebenarnya, yang berada di gunung dan hutan, sudah bukan referensi yang kontekstual lagi di sini. Sehingga, membangun air terjun dalam rumah mungkin menjadi tempat kontemplatif paripurna di abad ini.
Terlepas dari itu, saya menyadari hanya penasaran saja selayaknya anak kecil yang melihat rumah besar sambil melamun. Barangkali demikian hingga kini saya mempertanyakan mereka yang membeli bunga tanpa ada momen tertentu.
Saya mencermati kerap kali kita penasaran dengan hal-hal di luar kebiasaan kita, seperti ada sebuah eksotisme yang mendorong kita bertanya heran, “Ada apa di sana? kok bisa sih?” Ada semacam dorongan untuk memahami, untuk mengerti.
Saya teringat kembali Umar Kayam pernah menulis bahwa sastra yang baik tidak sekadar merekam peristiwa, tetapi juga menghadirkan kemungkinan. Mungkin bagi pembeli bunga atau air terjun mini, ada pengalaman personal yang ingin mereka bingkai. Mungkin para pembeli benda-benda ini sedang membingkai momen-momen yang signifikan, merangkai kenyamanan dalam keseharian mereka yang tidak biasa bagi kita. Mereka yang membeli air terjun, misalnya, mungkin merasa tidak mampu menjangkau versi aslinya di alam. Obsesi ini—baik pada bunga maupun air terjun—adalah cara mereka menciptakan kenyamanan dalam keseharian.
Namun, kita perlu akui bahwa kita sering kali memiliki bias. Keinginan untuk memahami, mengetahui, kemudian secara lambat tumbuh menjadi menghakimi.
Kadang-kadang, rasa ingin tahu ini melihat mereka sebagai yang asing, membuat kita memandang pilihan tersebut sebagai sesuatu yang absurd. Lantas, pada bunga dan air terjun kita kadang menampik mereka. Menjadikan mereka sesuatu yang bukan bagian dari kita hanya karena ketertarikan yang berlebih pada bunga dan air terjun. Kepada para pembeli air terjun itu boleh jadi menyempil sebuah hasrat pemiliknya, atau jangan-jangan membeli air terjun memang sebuah ketertarikan mendalam dan pencapaian pemiliknya seperti berupaya untuk “live in their heads” daripada “living their life”
Ada jurang di antara kita. Seakan keinginan kuat orang-orang biasa di sekitar kita menjadi begitu berjarak. Hasrat (baca: obsesi) yang wajar dimiliki seseorang dihakimi dengan begitu kerdil. Label “norak”, “gitu doang”, dan beragam label lainnya terus menjadikan jarak tersebut semakin curam. Seakan pada mereka kita tak menemukan diri kita.
Pada kenyataannya, jarak antara kita dan orang lain sering kali hanya sebuah konstruksi atau prasangka. Obsesi, seaneh apa pun tampaknya, adalah tindakan perayaan yang sangat personal—sejauh tak mempengaruhi dan berdampak terhadap orang lain.
Kita hanya bisa menjadikan orang lain sebagai yang liyan. Menyakitkan memang, tapi itu kerap kali begitu kenyataannya. Mungkin saya salah satunya. Seperti kita yang mungkin dijadikan liyan oleh entah berapa orang di luar sana.
Boleh jadi para pembeli bunga telah melampaui pertanyaan “apa” dan memahami “mengapa” yang tak lagi terjebak dalam cerita-cerita penuh gemuruh, tapi memilih untuk merayakan keseharian. Momen tersebut, dalam segala kebiasaannya, membentuk potret utuh yang lebih jujur tanpa perlu mencari alasan.
Kendati demikian, saya tetap percaya bahwa tempat terindah bagi bunga adalah di pohonnya.
post-scriptum:
Tahun ini telah mengajarkan banyak hal. Saya merenungkan kembali setiap kata dan sudut pandang yang telah saya bagikan. Menutup tahun ini, jika ada yang terasa kurang berkenan atau menyinggung, baik disengaja maupun tidak, saya dengan tulus memohon maaf. Semoga saya selalu termaafkan.