Bandung, Hujan, dan Kenangan-Kenangan
Hujan baru saja mentas di penghujung siang. Ibarat lonceng proyek, hujan berhenti, aktivitas hidup kembali. Orang-orang yang berlindung di bawah terpal kembali menyemut di jalan. Begitulah suasana delapan tahun lalu di Terminal Cicaheum, Bandung, yang mana kali pertama saya menginjakkan kaki di Kota Kembang. Belum lama, suasana itu kembali saya rasakan. hujan betul menghidupkan kenangan pada kota ini.
Toh, kenangan tak melulu berujung pada kisah cinta. Ia bisa saja menghadirkan elegi kepulangan, imaji tentang sebuah perjalanan, bahkan hal-hal sepele, seperti perigi kering di musim kemarau, banjir yang melintas depan rumah, atau senja yang telat terbenam. Mereka muncul begitu saja, seolah manusia tak punya kuasa menahan kenang-kenangnya itu.
Dulu, yang menjadi pertimbangan saya untuk ikut pergi ke sebuah ke mana perginya tapi dengan apa. Sialnya, orang tua paham betul gelagat anaknya, saya tertipu beberapa kali untuk pergi dengan iming-iming kereta api, termasuk ke Bandung.
“besok ikut ayah ke Bandung, naik kereta”
Tanpa pikir panjang dan melihat janji bersama kawan di hari esok, ajakan saya terima.
Saya punya ketertarikan khusus pada kereta walau hanya jarak dekat. Moda paling efektif ini membuat perjalanan harus benar-benar dinikmati. Desing dan desah kereta tiap melintasi persimpangan rel ganda seolah menghidupkan kenangan-kenangan, tentang tawa riang masa kanak-kanak, tentang dekapan hangat ibu, dan tentang hal yang mengingatkan kita pada ketenangan masa lampau.
Terlebih lagi, saya punya cerita lucu dengan kereta api. Setiap naik kereta, saya selalu meminta duduk di sisi jendela supaya bisa melihat sawah, rumah warga yang berhimpitan, dan orang-orang yang menunggu kereta lewat dengan jelas. Saya duduk satu bangku dengan ayah dan ibu. Sekitar 30 menit saya memandangi kondisi di luar kereta dari jendela. Tak lama saya menengok ke samping, ternyata samping saya bukan orang tua saya lagi. Kendati demikian saya coba berpikir, lelaki paruh baya samping saya hanya numpang duduk sejenak. Lama-lama, saya khawatir. Lelaki ini tak kunjung beranjak dari tempat duduk, saya berdiri dan mencari orang tua saya. Ternyata mereka ada di kursi belakang.
“loh kok di sini, sih?” tanya saya kesal
“iya salah tempat duduk ternyata”
“itu kan aku gak kenal bapak-bapak tadi” keluh saya
“ya kenalan dong” jawab mereka cekikikan
Kenalan, gundulmu. gerutu saya dalam hati.
Jika saya punya ketertarikan akan sebuah perjalanan, saya selalu bangun lebih awal daripada matahari. Tanpa diberi aba-aba, pakaian yang akan saya kenakan sudah saya siapkan di meja sejak pagi.
“kita batal naik kereta, kehabisan tiket. Jadinya naik bis” tungkas ayah selepas mandi.
saya hanya bisa diam. hampir saya putuskan tidak jadi berangkat. Tapi, beliau lantas menghidupkan bayang-bayang Kota Bandung, mulai dari keramahan orang-orangnya, cuacanya yang teduh, sampai kecantikan wanitanya.
“nanti kamu ngeliat yang geulis-geulis” kelakarnya. Saya dengar sambil berlalu karena masih kesal batal naik kereta. Dasar anak kecil, digoda sedikit langsung luluh. Saya putuskan tetap berangkat.
Sebelumnya saya tak punya bayangan apa-apa tentang Bandung. Sama halnya sebuah kota, ia memuakkan. Tinggal lama di Depok membuat saya menggeneralisir bagaimana gambaran sebuah kota, macet, cuaca yang panas, dan ketidakteraturan orang-orangnya. Di sini mungkin titik kesalahan saya. Jika memang saya menyamaratakan semua kota, Bandung adalah pengecualian.
“tahu..tahu..koran..aqua..aqua” teriakan penjaja dagangan membangunkan tidur saya.
“ayo bangun. Sudah sampai” ayah menggerak-gerakkan badan saya yang masih lemas.
Awan terlihat menggelap. Jam di dalam bis menunjukkan pukul 04.00 sore. Kami menuruni bis langsung memesan taksi.
Kedatangan saya di Bandung karena untuk menghadiri pernikahan kerabat ayah. Sial, setibanya di lokasi. Acara sudah mau berakhir. Jangankan kambing guling, air putih saja tinggal beberapa gelas. Perjalanan tiga jam hanya untuk menghadiri acara selama tak kurang dari dua puluh menit. Asem. Apes sekali saya hari ini.
Demi menghibur hati saya, sebelum pulang ayah meminta supir taksi berkeliling mengitari Bandung.
Pandangan kulemparkan ke luar jendela. Pohon-pohon besar di jalan, aspal yang basah karena hujan, dan wanita cantik yang saya temui di jalan benar-benar memudarkan bayangan saya akan sebuah kota. Dan beratus-ratus kenangan pahit maupun senang, sekonyong-konyong hidup dalam kepala. kala itu saya sadar, kenangan ternyata membebankan.
Oleh karenanya, ia menyeimbangi dengan menghadirkan harapan-harapan. Saya tersenyum atas keinsafan itu. ya, manusia kadang memaksakan diri untuk terus rasional agar bisa berdamai masa lalu. Toh, pada akhirnya ia luluh juga ketika dihadapkan pada keadaan yang mampu membangkitkan kenangan-kenangan itu.
Taksi terus melaju menyusuri jalan yang saya dan ayah mungkin tidak tahu ke mana kami melintas. Mata terus saya jengukkan ke luar jendela. Hampir tiap sudut saya minta berhenti untuk sekadar duduk berlama-lama sambil makan siomay atau minum bandrek.
“nah, gak nyesel kan ikut?” ledek ayah
Pertanyaannya saya biarkan dingin. Dalam hati, saya berharap suatu saat saya dan beliau bisa kembali menikmati Bandung lagi.
Supir taksi itu membelokkan kemudinya, tiba kembali kami di terminal. Bis sudah siap membawa kami balik ke ibukota.
Lima tahun setelahnya, kami sama-sama di Bandung. ayah mendapat dinas di Bandung, sedang saya kuliah. Lima tahun setelahnya hingga sekarang, Bandung, hujan dan kenangan-kenangan baru sedang kami rajut.